Pidana Kerja Sosial

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memperkenalkan bentuk pemidanaan baru, yaitu kerja sosial. Bentuk pemidanaan itu dimunculkan karena sejalan dengan semangat restorative justice, yaitu hukuman yang berfungsi untuk perbaikan perilaku dan pranata masyarakat. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengatur pidana kerja sosial untuk tindak pidana tertentu, dimana hal ini tidak ada dalam KUHP warisan penjajah Belanda yang berlaku saat ini.

Dalam draft RUU KUHP itu disebutkan “Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”

Munculnya bentuk pidana kerja sosial juga tidak lepas dari masalah kelebihan kapasitas yang menimpa sejumlah lembaga pemasyarakatan pada saat ini Masalah itu membuat penjatuh-an pidana kerja sosial menjadi pilihan bagi orang-orang yang haruss menjalani hukuman karena tindak pidana ringan.

Bentuk pidana kerja sosial ini dapat dikombinasikan dengan pidana lain, seperti pidana penjara atau pidana yang lain. Durasi pidana ini pun sesuai dengan RKUHP wajib dilakukan selama 240 jam dengan minimal masa kerja 7 jam per hari.

 

Anggota tim perumus RKUHP, Mudzakir, menyatakan, pelaksanaan pidana kerja sosial akan melibatkan yayasan yang mengelola panti asuhan, panti jompo, dan lain-lain. Terbuka peluang juga bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menggunakan fasilitas umum sebagai tempat kerja sosial. Sementara lembaga pemasyarakatan bertugas mendistribusikan narapidana yang akan menjalaninya.

Jaksa Agung HM Prasetyo mengapresiasi bentuk pidana kerja sosial. Bentuk pidana itu dapat mengurai masalah sejumlah lembaga pemasyarakatan yang kelebihan kapasitas. “Lebih baik seperti ini dibandingkan dengan dipaksakan di lapas yang kadang justru membuat mereka terjebak dalam bentuk kejahatan baru. Kerja sosial juga memudahkan mereka kembali ke masyarakat,” tuturnya.

Namun. Prasetyo berharap pemerintah mengatur dengan jelas tata caranya agar ketika diterapkan tidak menimbulkan kebingungan. Bahkan menimbulkan celah sehingga tujuan perbaikan perilaku seseorang dalam menjatuhkan hukuman menjadi tidak terpenuhi.

Teknis pelaksanaan pidana kerja sosial memang masih perlu dibahas secara lebih detail. Sementara, menurut Nasir, pidana dalam bentuk kerja sosial sebenarnya bukan jenis hukuman yang benar-benar baru. Di sejumlah daerah, bentuk hukuman itu sudah diterapkan dalam beberapa masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, bentuk pidana kerja sosial diyakini dapat diterapkan dengan leluasa di Indonesia.

Bahkan ada kemungkinan penerapan pidana kerja sosial ke depan dapat diharmonisasikan dengan ketentuan yang saat ini hidup.

Efek jera

Pidana kerja sosial juga dapat diterapkan lewat sejumlah model pekerjaan lapangan atau luar ruangan. Misalnya, menyapu jalan raya atau menjadi tenaga pembersih di fasilitas umum. Jenis pidana ini sebaiknya tidak diterapkan untuk jenis pekerjaan dalam ruangan agar tidak mengurangi potensi efek jera.

Dengan dilakukan di luar ruangan untuk jenis pekerjaan tertentu, pidana kerja sosial diharapkan dapat membawa efek jera baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain.

Dalam menjatuhkan hukuman pidana kerja sosial, hakim wajib mempertimbangkan:

1. Pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan
2. Kemampuan kerja terdakwa;
3. Persetujuan terdakwa dan semua yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
4. Riwayat sosial terdakwa;
5. Perlindungan keselamatan kerja terdakwa;
6. Keyakinan agama dan politik terdakwa; dan
7. Kemampuan terdakwa membayar pidana denda.

Selain itu dalam pasal 85 ayat 3 draft RUU KUHP dijelaskan “Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan”

Harapannya dengan menambah hukuman kerja sosial pada pidana penjara, pelaku pidana atau publik dapat memperoleh efek jera lebih signifikan.

Berikut beberapa rambu-rambu pidana kerja sosial:

1. Pidana kerja sosial dijatuhkan paling singkat 8 jam dan paling lama 240 jam.
2. Pidana kerja sosial dilaksanakan paling lama 8 jam dalam 1 hari dan dapat diangsur dalam waktu paling lama 6 bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.
3. Pelaksanaan pidana kerja sosial dimuat dalam putusan pengadilan.
4. Jika terpidana tanpa alasan yang sah tidak melaksanakan seluruh atau sebagian pidana kerja sosial, terpidana wajib mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut, menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.

Dalam penjelasan Pasal 85 ayat 1 RKUHP disebutkan “Pidana kerja sosial dapat diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilakukan di rumah sakit, rumah panti asuhan, panti lansia, sekolah, atau lembaga-lembaga sosial lainnya, dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana,”

Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana kerja sosial adalah harus ada persetujuan terdakwa sesuai dengan ketentuan dalam The Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom (Treaty of Rome 1950) dan The International Covenant on Civil and Political Rights (The New York Convention, 1966).

“Pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana. Karena itu, pelaksanaan pidana ini tidak boleh mengandung hal-hal yang bersifat komersial,” bunyi Penjelasan Pasal 85 ayat 3.