Kenapa Pembimbing Skripsimu Bilang ACC, Pas Ujian Kamu Dibantai?

Perihal skripsi, saya mempunyai banyak cerita. Dulu saya sempat berkhayal untuk merampungkan kuliah di dalam pas 3,5 tahun. Sayangnya, di semester 7 saya harus jalan-jalan ke Rumah Sakit dan menyita paket liburan sepanjang dua minggu. Setelahnya saya tetap harus menemani Ibu di rumah. Tidak ikuti kuliah dan cuma diperbolehkan istirahat dari lelah.

Pada saat-saat layaknya itu, rasanya saya cuma menginginkan diam saja. Berusaha sebisa kemungkinan mengubur kurang percaya diri. Menggali impuls sedalam kemungkinan sehingga bisa percaya jika pasti lulus. Jujur, tepat tengah sakit-sakitnya, saya putus asa. Gambaran mengenai era depan tiba-tiba tertutup begitu saja.

Untungnya, hampir semua orang mendukung saya. Sedikit demi sedikit impuls saya terkumpul dan siap untuk bertempur. Saya manfaatkan ketidakbolehan saya beranjak dari kasur bersama tetap membaca. Ketika telah bisa utak-utek laptop, saya langsung ngegas skripsinya dengan joki kti kedokteran.

Tidak butuh pas lama untuk merampungkan skripsi yang tipis layaknya mempunyai saya. Lagipula, skripsi ini tidak seribet mempunyai teman-teman. Saya cuma harus membaca buku berulang-ulang dan menganalisisnya berdasarkan ilmu dan pengalaman. Tidak harus pergi ke sana ke mari untuk menyita knowledge ini dan itu. Saya tidak menginginkan buang-buang waktu.

Skripsi selanjutnya saya serahkan kepada pembimbing untuk diteliti. Siapa jelas saya luput tidak menuliskan namamu hal-hal perlu di dalam skripsi itu. Setelah dibaca, katanya skripsi saya siap diujikan. Artinya, skripsi saya telah di-ACC pembimbing. Kok mudah sekali? Saya berkali-kali bertanya di dalam hati. Tidak bisa percaya begitu saja.

Satu hal yang saya takutkan adalah skripsi saya pada sebetulnya belum masak dan nanti jadi bahan bulan-bulanan tepat ujian. Saya terlalu takut. Seketika itu, saya mengingat pengalaman-pengalaman saya di dalam ikuti ujian skripsi kakak angkatan dan teman-teman.

Saya dulu memperhatikan ujian kakak angkatan saya yang memadai menggelikan. Ceritanya, tepat ujian, penguji skripsi kakak angkatan saya mendapati kesalahan. Pas dikonfirmasikan kepada kakak angkatan saya, eh tiba-tiba dosen pembimbingnya nyeletuk, “Iya, Bu. Itu si I telah saya bilangin suruh ganti, nggak diganti-ganti.” Wajahnya nampak sengit—menunjukkan ketidaksukaannya. Bahkan pernyataan itu dimintakan pertolongan pada pembimbing satunya. Lucunya, pembimbing satunya mengiyakan.

Saya katakan lucu karena setahu saya skripsi itu hasil diskusi pada mahasiwa dan pembimbing. Kalau sesungguhnya belum ada kejelasan, kenapa harus langsung diujikan? Lagipula, pernyataan pembimbing selanjutnya seolah diada-adakan. Hanya cuman mencari aman dari kesalahan. Pokoknya yang keliru itu mahasiswa. Maha benar pembimbing bersama segala kengenyelannya.

Lain waktu, saya ikuti ujian skripsi rekan sendiri. Tidak ada kendala sama sekali sewaktu presentasi. Semuanya lancar, karena rekan saya telah memadai masak mempersiapkan. Masalah baru nampak ketika penguji utama membedah habis-habisan skripsi rekan saya. Dari empat puluh menit yang diberikan, lebih dari satu jam yang disampaikan penguji utama. Teman saya jadi keder dan lemas tak berdaya.

Saya perhatikan, pembimbingnya cuma diam saja. Pas diberi pas untuk berbicara, pembimbingnya cuma mengemukakan sepatah-dua patah kata. Yang mana kalimat selanjutnya tidak terkait sama sekali bersama pembredelan yang dilaksanakan penguji utama. Saya shock dong yhaaa~

Karena penasaran, seusai ujian saya pun bertanya kepadanya. Kok pembimbingmu cuma layaknya itu? Bahkan pembimbingmu tidak menyentuh mengisi skripsimu atau argumen penguji utama. Pembimbingmu tadi cuma menyebutkan jika anda telah mengusahakan semaksimalnya di dalam mengerjakan skripsi dan patut diapresiasi. Pembimbingmu bukan pemirsa bayaran acara-acara tivi, kan?

Teman saya kelanjutannya bercerita. Katanya, sewaktu proses pembimbingan, cuma acc-acc saja. Makanya proses penulisannya bisa begitu cepat jika dibandingkan yang lainnya. Tapi bersama revisi sebanyak itu, apa memadai efektif bagimu? Saya bertanya dan rekan saya cuma memasang wajah sedih sejadi-jadinya.

Berangkat dari pengalaman-pengalaman itu, saya jadi takut tepat diminta mendaftar ujian. Saya sempat sangsi dua hal. Pertama, pembimbing saya jadi kasihan karena saya habis kecelakaan dan kelanjutannya dimudahkan. Kalau alasannya layaknya ini, saya kok ya malah tidak enak hati. Selain itu, rasanya kok saya payah sekali. Lulus karena rasa kasihan, apa itu tidak menyedihkan?

Kedua, saya sangsi jika pembimbing saya menaruh dendam. Beliau sesudah itu menyusun rencana untuk menghabisi saya pas ujian. Skripsi tidak masak ini disetujui sehingga saya terlilit pada rasa percaya diri. Pas ujian nanti, saya bakal dibantai tanpa belas kasihan. Eh, kok imajinasi saya kebablasan?

Dasar untung, keraguan kedua tidak saya rasakan. Saya tidak dibunuh dibuat mati kutu tepat ujian. Semuanya berjalan wajar begitu saja. Seperti presentasi tugas kuliah di depan dosen-dosen tercinta. Tapi kok tidak semenyeramkan ujian yang dulu saya ikuti? Apa benar saya cuma dikasihani? Sampai hari ini, pertanyaan ini tetap nyangkut di memori.